Senin, 20 Januari 2014

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



1.     Sejarah perkembangan islam di wina Austria




Meski minoritas, Muslimin dapat beraktivitas dengan bebas danyaman.Gedung-gedung opera dan konser klasik mewarnai tiap sudut kota. Lantunan piano Fur Elise karya Bethoven seakan bersenandung ria. Inilah Wina, atau Vienna, ibu kota Austria yang terkenal sebagai kota musik. Disebut demikian karena di sanalah karya para musisi ternama dunia lahir. Sebut saja Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, Johannes Brahms, dan Franz Schubert. Mereka berkarya dan pentas di kota budaya tersebut. Tak sedikit dari para komposer itu yang lahir dan mengembuskan napasterakhir di tanah musik klasik tersebut.
Di tengah popularitas Wina sebagai kota musik, Muslimin pun hidup riang di sana. Meski sebagai minoritas, Muslimin menjadi bagian yang tak bisa luput dari Wina. Sebagaimana sejarah musik klasik yang panjang, Islam pun ikut andil dalam bagian sejarah Wina. Sejarah Islam di kota ini bermula pada 1525. Saat itu, Turki Utsmani berkeinginan membuka Austria.Upaya pembukaan kota gagal.Namun, budaya Islam yang dibawa Turki Utsmani telah menorehkan jejak. Sejak itu, Islam pun dikenal dan banyak warga setempat yang memeluknya.Komunitas Muslim tumbuh. Hingga pada 1878 setelah konferensi Berlin, banyak imigran memasuki Wina. Mereka berasal dari Turki dan negara-negara Eropa Timur. Maka, bertambah ramailah komunitas Muslim Wina. Perang Dunia kedua kemudian memberikan kesempatan bagi gelombang kedua migrasi Muslim ke Austria. Mereka berasal dari Turki, Bosnia, Herzegovina, Serbia, hingga Arab dan Pakistan. Di antara wilayah Austria, para imigran Muslim tersebut banyak memilih Wina sebagai tempat tinggal.Jumlah Muslimin Wina pun terus berkembang hingga kini. Menurut EU Research program, jumlah Muslim Wina mencapai 120 ribu atau sekitar delapan persen dari total penduduk Wina.Meski minoritas, Muslimin dapat beraktivitas dengan bebas dan nyaman.Jumlah ini meningkat pesat dari sensus 2001 yang menurut halaman Euro-Islam, jumlahnya baru mencapai 4,22 persen. Bahkan, pada 1951, jumlah Muslimin tak mencapai satu persen, lebih tepatnya hanya 0,3 persen.
Kemudian pada 1991 hanya dua persen Muslimin yang tinggal di Wina. Peningkatan pesat terjadi selama satu dekade menuju 2001. Pengaruh Turki disebut-sebut sebagai pemicu peningkatan jumlah tersebut.Kendati peningkatan tajam terjadi dalam beberapa dekade terakhir, jumlah Muslimin Wina masih terbilang kecil. Mereka masih berstatus sebagai minoritas.Katholik adalah Agama masyoritas Wina yang jumlah penganutnya mencapai 73 persen penduduk, serta penganut tanpa agama atau ateis sebanyak 12 persen. Namun, Islam merupakan agama minoritas terbesar kedua di kota seluas 414,65 kilometer persegi tersebut.Jumlah Muslimin Wina merupakan warga asli Austria. Imigran Muslim dari negara Arab dan Afrika tak terlalu banyak dibanding kota-kota di negara Eropa lain. Hanya saja, terdapat warga Wina yang berstatus warga negara Austria karena melalui naturalisasi. Sebagian besar mereka berasal dari Turki dan Bosnia. Namun, jumlah mualaf Wina tak dapat disepelekan karena selalu meningkat tiap tahunnya.
Meski hidup minoritas, Muslimin Wina dapat beraktivitas bebas dan nyaman. Tak ada gangguan diskriminasi di kota tersebut. Muslimah bebas berjilbab di jalan-jalan bahkan di lembaga tempat mereka bekerja dan sekolah. Dua hari raya Islam juga diberikan hak libur.
Dalam pendidikan pun, Muslimin mendapat hak sama untuk sekolah negeri. Terdapat pula sebuah perguruan tinggi Islam yang berdiri sejak 1999 di Kota Wina. Islamic Religious Academy, demikian perguruan tinggi yang mencetak para guru tersebut.Dalam menjalankan ibadah, kaum Muslimin diberikan kemudahan. Sedikitnya terdapat 60 masjid di ibu kota Austria tersebut. Masjid yang dahulu tertutup di sebuah bangunan atau rumah warga, kini tertampang jelas.  Bahkan, sebuah pusat kebudayaan majid juga didirikan di Wina dengan nama Palzgazze. Pembangunan ini didukung oleh negara Turki. Selain itu, pemakaman Muslim juga tersedia lapangan di Wina. Terdapat sekitar 34 ribu kilometer yang selama ini menampung jasad Muslimin. Tak hanya hidup nyaman dalam kegiatan sosial maupun ekonomi, Muslimin pun mendapatkan hak di ranah politik. Tak hanya di Wina, namun seluruh Austria merasakan hak yang sama. Hanya saja, Winalah pencetus hak untuk politikus Muslim. Hal itu terjadi pada 2002 lalu, seorang politikus Muslim, Amr al-Rawi terpilih langsung menjadi dewan perwakilan Kota. Pria kelahiran Irak pun menyuarakan hak Muslim di kursi pemerintahan. Bahkan, tak terbatas di Kota Wina, ia pun ikut serta dalam pemilu parlemen nasional dan terpilih.Seluruh hak dan perlakuan yang diperoleh Muslimin Wina tak terlepas dari peraturan nasional.
Negara republik federal ini menjamin kebebasan beragama bagi umat Islam.
Pada 1878, Pemerintah Austria mengakui Muslimin secara legal yang disebut denganAnerkennungsgesetz (Act of Recognition). Bahkan, sejak 1867, Muslimin telah diberi hak untuk mendirikan masjid dan menjalankan ibadah. Pelayanan sipil juga didapatkan Muslimin.Kemudian pada 1912, Islam benar-benar diakui secara konstitusional sebagai sebuah agama. Austria yang saat itu dipimpin Kaisar Franz Joseph I itu pun memberikan hak Muslim dalam hukum publik, pembentukan komunitas, dan memiliki badan keagamaan resmi negara. Tak lama setelah itu, Muslimin pun bersatu dalam komunitas yang mereka namai denganViennese Islamic Religion Community atau Komunitas Agama Islam Wina. Saat ini banyak komunitas atau organisasi lain yang menaungi aktivitas Muslim Wina. Dengannya, kehidupan mereka pun makin terlayani dengan baik. Meski hidup sebagai minoritas, mereka tak pernah merasa dibedakan apalagi diperlakukan secara diskriminatif
.



2.     Cordoba Kota Peradaban Islam di Eropa Yang Hilang

Kota Cordoba, yang awalnya bernama Iberi Baht, dibangun pada masa pemerintahan Romawi berkuasa di Guadalquivir. Lima abad kemudian, kota ini berada dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja Goth Barat.
Kota Cordoba, yang awalnya bernama Iberi Baht, dibangun pada masa pemerintahan Romawi berkuasa di Guadalquivir. Lima abad kemudian, kota ini berada dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja Goth Barat.Sejarah Cordoba memasuki babak baru saat Islam datang ke wilayah itu pada 711 M atau 93 H. Ketika itu panglima Islam Tariq bin Ziad atas perintah gubernur Afrika Utara, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715) dari Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Spanyol dari Goth Barat, Kekaisaran Visigoth. Dengan dikuasainya Spanyol, 700 tentara kavaleri Islam yang dipimpin panglima perang Mugith Ar- Rumi, seorang bekas budak, dengan mudah menguasai Cordoba.
 Penaklukan Cordoba dilakukan pada malam hari. Mugith Ar- Rumi dengan pasukan berkudanya berhasil mendobrak tembok Cordoba. Selain menguasai Cordoba, pasukan tentara Islam juga menaklukan wilayah-wilayah lain di Spanyol seperti, Toledo, Seville, Malaga serta Elvira.
Selama pemerintahan Umayyah berpusat di Damaskus, Toledolah yang dijadikan ibu kota Spanyol. Cordoba baru menjadi ibukota Spanyol ketika dinasti tersebut ditumbangkan oleh Dinasti Abbasiyah tahun 750 M.
Abdurrahman Ad-Dakhil atau Abdurrahman I sebagai penerus Dinasti Ummayah pindah ke Spanyol, yang waktu itu Islam sudah eksis. Ia menjadikan kota Cordoba sebagai ibukota pemerintahan dinastinya di benua Eropa. Dalam membangun kota ini ia mengundang dan mendatangkan ahli fikih, alim ulama, ahli filasafat, dan ahli syair untuk bertandang dan mengembangkan ilmunya di Cordoba. Akhirnya kota ini menjadi pusat perkembangan ilmu, pengetahuan, kesenian dan kesusasteraan di seantero benua Eropa.


Puncak kejayaan dan masa keemasan Cordoba mulai berlangsung pada era pemerintahan Khalifah Abdul Rahman An-Nasir dan pada zaman pemerintahan anaknya Al-Hakam. Ketika itu, Cordoba telah mencapai kejayaannya hingga pada taraf kekayaan dan kemewahan yang belum pernah tercapai sebelumnya.
Pembangunan pada masa ini tumbuh pesat. Bangunan-bangunan berarsitektur megah bermunculan. Ketika malam tiba, jalan-jalan di kota hingga keluar kota diterangi lampu hias yang cantik dan anggun. Kota Cordoba pun terbebas dari sampah. Taman-taman nan indah menjadi daya tarik bagi para pendatang yang singgah di kota itu. Mereka bersantai di taman yang dipenuhi bunga dan tata landskap.


Tak heran, bila pada era itu Cordoba mempu mensejajarkan diri dengan Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan Abbasiyah. Tak cuma itu, Cordoba juga setaraf dengan Konstantinopel, ibu kota kerajaan Bizantium serta Kaherah, ibukota kerajaan Fatimiah.
Saat Cordoba berada dalam puncak kejayaannya (abad ke 9 dan 10 M) terdapat lebih dari 200 000 rumah di dalam kotanya. Jumlah masjid sebanyak 600 buah, 900 public baths, 50 rumah sakit dan sejumlah pasar besar yang menjadi pusat perdagangan dan sentra perekonomian. Pada saat itu, Cordoba telah mampu menempatkan duta besarnya hingga ke negara yang amat jauh seperti India dan Cina.
Kota bersejarah yang bertengger di sepanjang tebing sungai Guadalquivir ini tidak ada tandingannya di Eropa dalam hal kemajuan peradabannya.


Kota Ilmu Jejak kejayaan Islam di Cordoba tidak hanya meninggalkan bangunan-bangunan megah, namun mewariskan peradaban dan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya.
Kota yang terletak di Provinsi Andalusia, sebelah Barat Spanyol ini juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Di kota ini berdiri perpustakaan yang besar dengan jumlah volume kunjungannya mencapai 400.000 orang. Padahal pada waktu yang sama, perpustakaan-perpustakaan besar di Eropa, volume pengunjungnya jarang mencapai angka seribu.


Karena itu tidak salah jika Cordoba disebuat sebagai the greatest centre of learning di Eropa, saat kota-kota lain di benua tersebut berada pada masa kegelapan. Cordoba bagai bunga yang menebar harum di Eropa pada abad pertengahan sebagaimana digambarkan Lane-Poole sebagai the wonders of the world.
Pada masa kekuasaan Abrurrahman III, berdiri Universitas Cordoba yang termasyhur dan menjadi kebanggaan umat Islam. Berbondong-bondong mahasiswa dari berbagai wilayah, termasuk mahasiswa Kristen dari Eropa menimba ilmu.
Dari universitas inilah, Barat menyerap ilmu pengetahuan. Salah satu mahasiswa Kristen yang menuntut ilmu di Spanyol adalah Gerbert d’Aurillac (945-1003), yang kemudian menjadi Paus Sylvester II. Selepas belajar matematika di Spanyol, dia kemudian mendirikan sekolah katedral dan mengajarkan aritmatika dan geometri kepada para muridnya.Geliat pendidikan di Cordoba makin bersinar pada era pemerintahan Al-Hakam Al-Muntasir sehingga dijuluki Khalifah yang alim. Sebanyak 27 sekolah swasta berdiri pada masa itu. Gedung perpustakaan mencapai 70 buah menambah semarak perkembangan ilmu pengetahuan. Jumlah pengunjungnya mencapai 400 ribu orang. Padahal, volume kunjungan perpustakaan besar di Eropa lainnya, kala itu, paling tinggi mencapai 1.000 orang. Saat itu, terdapat 170 wanita yang berprofesi sebagai penulis kitab suci Alquran dengan huruf Kufi yang indah. Anak-anak fakir miskin pun bisa belajar secara gratis di 80 sekolah yang disediakan Khalifah. Pendidikan yang tinggi pun diimbangi dengan kesejahteraan masyarakatnya.
Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di Cordoba pada era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah ilmuwan dan ulama termasyhur. Cordoba merupakan pusat intelektual di Eropa dengan perguruan-perguruan yang amat terkenal dalam bidang kedokteran, matematika, filsafat, kesusateraan bahkan musik. Kontribusi para intelektual dan ulama yang lahir dari Cordoba sangat diakui dan memberi pengaruh bagi peradaban manusia. Di antara para ilmuwan yang muncul pada masa keemasan Islam di Cordoba antara lain Abul al Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusydi, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusydi atau Averrous. Ibnu Rusydi merupakan seorang ilmuwan muslim yang sangat berpengaruh pada abad ke- 12 dan beberapa abad berikutnya. Ia adalah seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.
Demikian juga lahir seorang ulama yang mujtahid yaitu Ibnu Hazm yang menulis kitab Al-Muhalla. Ada juga seorang mufasir kenamaan yaitu Al-Qurtubi yang menulis kitab tafsir Al-Qurtubi. Kemudian pakar kesehatan moder, Az-Zahrawi, yang memperkenalkan teknik keperawatan dan menciptakan alat bean dan teknik terbaru bedah luar dan dalam. Ia menulis buku medis bergambar yang dijadikan referensi oleh pakar kedokteran Eropa. mengetahui ilmu bedah melalui buku-bukunya. Dan masih banyak lagi pakar ilmu pengetahuan yang muncul waktu itu.Itulah kota Cordoba yang di masa kejayaannya banyak menginspirasi penulis barat yang banyak digambarkan oleh para ahli sejarah maupun politik sebagai cikal bakal pembawa kemajuan bagi Barat di masa sekarang.