1.
Sejarah
perkembangan islam di wina Austria
Meski minoritas, Muslimin dapat beraktivitas dengan bebas danyaman.Gedung-gedung
opera dan konser klasik mewarnai tiap sudut kota. Lantunan piano Fur Elise
karya Bethoven seakan bersenandung ria. Inilah Wina, atau Vienna, ibu kota
Austria yang terkenal sebagai kota musik. Disebut
demikian karena di sanalah karya para musisi ternama dunia lahir. Sebut saja
Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, Johannes Brahms, dan Franz
Schubert. Mereka berkarya dan pentas
di kota budaya tersebut. Tak sedikit dari para komposer itu yang lahir dan mengembuskan napasterakhir di tanah musik klasik
tersebut.
Di
tengah popularitas Wina sebagai kota musik, Muslimin pun hidup riang di sana.
Meski sebagai minoritas, Muslimin menjadi bagian
yang tak bisa luput dari Wina. Sebagaimana
sejarah musik klasik yang panjang, Islam pun ikut andil dalam bagian sejarah
Wina. Sejarah Islam di kota ini bermula pada 1525. Saat itu, Turki Utsmani
berkeinginan membuka Austria.Upaya pembukaan kota gagal.Namun, budaya Islam
yang dibawa Turki Utsmani telah menorehkan jejak. Sejak itu, Islam pun dikenal
dan banyak warga setempat yang memeluknya.Komunitas Muslim tumbuh. Hingga pada 1878
setelah konferensi Berlin, banyak imigran memasuki Wina. Mereka berasal dari
Turki dan negara-negara Eropa Timur. Maka, bertambah ramailah komunitas Muslim
Wina. Perang Dunia kedua kemudian
memberikan kesempatan bagi gelombang kedua migrasi Muslim ke Austria. Mereka
berasal dari Turki, Bosnia, Herzegovina, Serbia, hingga Arab dan Pakistan. Di
antara wilayah Austria, para imigran Muslim tersebut banyak memilih Wina
sebagai tempat tinggal.Jumlah Muslimin Wina pun terus berkembang hingga kini.
Menurut EU Research program, jumlah Muslim Wina mencapai 120 ribu atau sekitar
delapan persen dari total penduduk Wina.Meski minoritas, Muslimin dapat
beraktivitas dengan bebas dan nyaman.Jumlah ini meningkat pesat dari sensus
2001 yang menurut halaman Euro-Islam, jumlahnya baru mencapai 4,22 persen.
Bahkan, pada 1951, jumlah Muslimin tak mencapai satu persen, lebih tepatnya
hanya 0,3 persen.
Kemudian
pada 1991 hanya dua persen Muslimin yang tinggal di Wina. Peningkatan pesat
terjadi selama satu dekade menuju 2001. Pengaruh Turki disebut-sebut sebagai
pemicu peningkatan jumlah tersebut.Kendati peningkatan tajam terjadi dalam
beberapa dekade terakhir, jumlah Muslimin Wina masih terbilang kecil. Mereka
masih berstatus sebagai minoritas.Katholik adalah Agama masyoritas Wina yang
jumlah penganutnya mencapai 73 persen penduduk, serta penganut tanpa agama atau
ateis sebanyak 12 persen. Namun, Islam merupakan agama minoritas terbesar kedua
di kota seluas 414,65 kilometer persegi tersebut.Jumlah Muslimin Wina merupakan
warga asli Austria. Imigran Muslim dari negara Arab dan Afrika tak terlalu
banyak dibanding kota-kota di negara Eropa lain. Hanya
saja, terdapat warga Wina yang berstatus warga negara Austria karena melalui
naturalisasi. Sebagian besar mereka berasal dari Turki dan Bosnia. Namun,
jumlah mualaf Wina tak dapat disepelekan karena selalu meningkat tiap tahunnya.
Meski
hidup minoritas, Muslimin Wina dapat beraktivitas bebas dan nyaman. Tak ada
gangguan diskriminasi di kota tersebut. Muslimah bebas berjilbab di jalan-jalan
bahkan di lembaga tempat mereka bekerja dan sekolah. Dua hari raya Islam juga diberikan hak libur.
Dalam
pendidikan pun, Muslimin mendapat hak sama untuk sekolah negeri. Terdapat pula
sebuah perguruan tinggi Islam yang berdiri sejak 1999 di Kota Wina. Islamic
Religious Academy, demikian perguruan tinggi
yang mencetak para guru tersebut.Dalam menjalankan ibadah, kaum Muslimin
diberikan kemudahan. Sedikitnya terdapat 60 masjid di ibu kota Austria
tersebut. Masjid yang dahulu tertutup di sebuah bangunan atau rumah warga, kini
tertampang jelas. Bahkan,
sebuah pusat kebudayaan majid juga didirikan di Wina dengan nama Palzgazze. Pembangunan ini didukung oleh negara Turki. Selain
itu, pemakaman Muslim juga tersedia lapangan di Wina. Terdapat sekitar 34 ribu kilometer yang selama ini
menampung jasad Muslimin. Tak hanya hidup nyaman dalam kegiatan sosial maupun
ekonomi, Muslimin pun mendapatkan hak di ranah politik. Tak hanya di Wina,
namun seluruh Austria merasakan hak yang sama. Hanya saja, Winalah pencetus hak untuk politikus
Muslim. Hal itu terjadi pada 2002 lalu, seorang politikus Muslim, Amr al-Rawi
terpilih langsung menjadi dewan perwakilan Kota. Pria kelahiran Irak pun menyuarakan hak Muslim di
kursi pemerintahan. Bahkan, tak terbatas di Kota Wina, ia pun ikut serta dalam
pemilu parlemen nasional dan terpilih.Seluruh hak dan perlakuan yang diperoleh
Muslimin Wina tak terlepas dari peraturan nasional.
Negara
republik federal ini menjamin kebebasan beragama bagi umat Islam.
Pada 1878, Pemerintah Austria mengakui Muslimin secara legal yang disebut denganAnerkennungsgesetz (Act of Recognition). Bahkan, sejak 1867, Muslimin telah diberi hak untuk mendirikan masjid dan menjalankan ibadah. Pelayanan sipil juga didapatkan Muslimin.Kemudian pada 1912, Islam benar-benar diakui secara konstitusional sebagai sebuah agama. Austria yang saat itu dipimpin Kaisar Franz Joseph I itu pun memberikan hak Muslim dalam hukum publik, pembentukan komunitas, dan memiliki badan keagamaan resmi negara. Tak lama setelah itu, Muslimin pun bersatu dalam komunitas yang mereka namai denganViennese Islamic Religion Community atau Komunitas Agama Islam Wina. Saat ini banyak komunitas atau organisasi lain yang menaungi aktivitas Muslim Wina. Dengannya, kehidupan mereka pun makin terlayani dengan baik. Meski hidup sebagai minoritas, mereka tak pernah merasa dibedakan apalagi diperlakukan secara diskriminatif
Pada 1878, Pemerintah Austria mengakui Muslimin secara legal yang disebut denganAnerkennungsgesetz (Act of Recognition). Bahkan, sejak 1867, Muslimin telah diberi hak untuk mendirikan masjid dan menjalankan ibadah. Pelayanan sipil juga didapatkan Muslimin.Kemudian pada 1912, Islam benar-benar diakui secara konstitusional sebagai sebuah agama. Austria yang saat itu dipimpin Kaisar Franz Joseph I itu pun memberikan hak Muslim dalam hukum publik, pembentukan komunitas, dan memiliki badan keagamaan resmi negara. Tak lama setelah itu, Muslimin pun bersatu dalam komunitas yang mereka namai denganViennese Islamic Religion Community atau Komunitas Agama Islam Wina. Saat ini banyak komunitas atau organisasi lain yang menaungi aktivitas Muslim Wina. Dengannya, kehidupan mereka pun makin terlayani dengan baik. Meski hidup sebagai minoritas, mereka tak pernah merasa dibedakan apalagi diperlakukan secara diskriminatif
.
2. Cordoba Kota Peradaban Islam di Eropa Yang
Hilang
Kota Cordoba, yang awalnya bernama Iberi
Baht, dibangun pada masa pemerintahan Romawi berkuasa di Guadalquivir. Lima
abad kemudian, kota ini berada dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja
Goth Barat.
Kota Cordoba, yang awalnya bernama Iberi Baht,
dibangun pada masa pemerintahan Romawi berkuasa di Guadalquivir. Lima abad
kemudian, kota ini berada dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja Goth
Barat.Sejarah Cordoba memasuki babak baru saat Islam datang ke wilayah itu pada
711 M atau 93 H. Ketika itu panglima Islam Tariq bin Ziad atas perintah
gubernur Afrika Utara, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik atau
Al-Walid I (705-715) dari Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Spanyol dari
Goth Barat, Kekaisaran Visigoth. Dengan dikuasainya Spanyol, 700 tentara
kavaleri Islam yang dipimpin panglima perang Mugith Ar- Rumi, seorang bekas
budak, dengan mudah menguasai Cordoba.
Penaklukan Cordoba dilakukan pada malam
hari. Mugith Ar- Rumi dengan pasukan berkudanya berhasil mendobrak tembok
Cordoba. Selain menguasai Cordoba, pasukan tentara Islam juga menaklukan wilayah-wilayah
lain di Spanyol seperti, Toledo, Seville, Malaga serta Elvira.
Selama pemerintahan Umayyah berpusat di
Damaskus, Toledolah yang dijadikan ibu kota Spanyol. Cordoba baru menjadi
ibukota Spanyol ketika dinasti tersebut ditumbangkan oleh Dinasti Abbasiyah
tahun 750 M.
Abdurrahman Ad-Dakhil atau Abdurrahman I
sebagai penerus Dinasti Ummayah pindah ke Spanyol, yang waktu itu Islam sudah
eksis. Ia menjadikan kota Cordoba sebagai ibukota pemerintahan dinastinya di
benua Eropa. Dalam membangun kota ini ia mengundang dan mendatangkan ahli
fikih, alim ulama, ahli filasafat, dan ahli syair untuk bertandang dan
mengembangkan ilmunya di Cordoba. Akhirnya kota ini menjadi pusat perkembangan
ilmu, pengetahuan, kesenian dan kesusasteraan di seantero benua Eropa.
Puncak kejayaan dan
masa keemasan Cordoba mulai berlangsung pada era pemerintahan Khalifah Abdul
Rahman An-Nasir dan pada zaman pemerintahan anaknya Al-Hakam. Ketika itu,
Cordoba telah mencapai kejayaannya hingga pada taraf kekayaan dan kemewahan yang
belum pernah tercapai sebelumnya.
Pembangunan pada masa ini tumbuh pesat.
Bangunan-bangunan berarsitektur megah bermunculan. Ketika malam tiba,
jalan-jalan di kota hingga keluar kota diterangi lampu hias yang cantik dan
anggun. Kota Cordoba pun terbebas dari sampah. Taman-taman nan indah menjadi
daya tarik bagi para pendatang yang singgah di kota itu. Mereka bersantai di
taman yang dipenuhi bunga dan tata landskap.
Tak heran, bila pada
era itu Cordoba mempu mensejajarkan diri dengan Baghdad sebagai ibu kota
pemerintahan Abbasiyah. Tak cuma itu, Cordoba juga setaraf dengan
Konstantinopel, ibu kota kerajaan Bizantium serta Kaherah, ibukota kerajaan
Fatimiah.
Saat Cordoba berada dalam puncak kejayaannya
(abad ke 9 dan 10 M) terdapat lebih dari 200 000 rumah di dalam kotanya. Jumlah
masjid sebanyak 600 buah, 900 public baths, 50 rumah sakit dan sejumlah pasar
besar yang menjadi pusat perdagangan dan sentra perekonomian. Pada saat itu,
Cordoba telah mampu menempatkan duta besarnya hingga ke negara yang amat jauh
seperti India dan Cina.
Kota bersejarah yang bertengger di sepanjang
tebing sungai Guadalquivir ini tidak ada tandingannya di Eropa dalam hal
kemajuan peradabannya.
Kota Ilmu Jejak
kejayaan Islam di Cordoba tidak hanya meninggalkan bangunan-bangunan megah,
namun mewariskan peradaban dan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya.
Kota yang terletak di Provinsi Andalusia,
sebelah Barat Spanyol ini juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Di kota
ini berdiri perpustakaan yang besar dengan jumlah volume kunjungannya mencapai
400.000 orang. Padahal pada waktu yang sama, perpustakaan-perpustakaan besar di
Eropa, volume pengunjungnya jarang mencapai angka seribu.
Karena itu tidak salah
jika Cordoba disebuat sebagai the greatest centre of learning di Eropa, saat
kota-kota lain di benua tersebut berada pada masa kegelapan. Cordoba bagai
bunga yang menebar harum di Eropa pada abad pertengahan sebagaimana digambarkan
Lane-Poole sebagai the wonders of the world.
Pada masa kekuasaan Abrurrahman III, berdiri
Universitas Cordoba yang termasyhur dan menjadi kebanggaan umat Islam.
Berbondong-bondong mahasiswa dari berbagai wilayah, termasuk mahasiswa Kristen
dari Eropa menimba ilmu.
Dari universitas
inilah, Barat menyerap ilmu pengetahuan. Salah satu mahasiswa Kristen yang
menuntut ilmu di Spanyol adalah Gerbert d’Aurillac (945-1003), yang kemudian
menjadi Paus Sylvester II. Selepas belajar matematika di Spanyol, dia kemudian
mendirikan sekolah katedral dan mengajarkan aritmatika dan geometri kepada para
muridnya.Geliat pendidikan di Cordoba makin bersinar pada era pemerintahan
Al-Hakam Al-Muntasir sehingga dijuluki Khalifah yang alim. Sebanyak 27 sekolah
swasta berdiri pada masa itu. Gedung perpustakaan mencapai 70 buah menambah
semarak perkembangan ilmu pengetahuan. Jumlah pengunjungnya mencapai 400 ribu
orang. Padahal, volume kunjungan perpustakaan besar di Eropa lainnya, kala itu,
paling tinggi mencapai 1.000 orang. Saat itu, terdapat 170 wanita yang
berprofesi sebagai penulis kitab suci Alquran dengan huruf Kufi yang indah.
Anak-anak fakir miskin pun bisa belajar secara gratis di 80 sekolah yang
disediakan Khalifah. Pendidikan yang tinggi pun diimbangi dengan kesejahteraan
masyarakatnya.
Berkembang pesatnya
ilmu pengetahuan di Cordoba pada era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah
ilmuwan dan ulama termasyhur. Cordoba merupakan pusat intelektual di Eropa
dengan perguruan-perguruan yang amat terkenal dalam bidang kedokteran,
matematika, filsafat, kesusateraan bahkan musik. Kontribusi para intelektual
dan ulama yang lahir dari Cordoba sangat diakui dan memberi pengaruh bagi
peradaban manusia. Di antara para ilmuwan yang muncul pada masa keemasan Islam
di Cordoba antara lain Abul al Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
Rusydi, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusydi atau Averrous. Ibnu
Rusydi merupakan seorang ilmuwan muslim yang sangat berpengaruh pada abad ke-
12 dan beberapa abad berikutnya. Ia adalah seorang filosof yang telah berjasa
mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.
Demikian juga lahir
seorang ulama yang mujtahid yaitu Ibnu Hazm yang menulis kitab Al-Muhalla. Ada
juga seorang mufasir kenamaan yaitu Al-Qurtubi yang menulis kitab tafsir
Al-Qurtubi. Kemudian pakar kesehatan moder, Az-Zahrawi, yang memperkenalkan
teknik keperawatan dan menciptakan alat bean dan teknik terbaru bedah luar dan
dalam. Ia menulis buku medis bergambar yang dijadikan referensi oleh pakar
kedokteran Eropa. mengetahui ilmu bedah melalui buku-bukunya. Dan masih banyak
lagi pakar ilmu pengetahuan yang muncul waktu itu.Itulah kota Cordoba yang di
masa kejayaannya banyak menginspirasi penulis barat yang banyak digambarkan
oleh para ahli sejarah maupun politik sebagai cikal bakal pembawa kemajuan bagi
Barat di masa sekarang.